Cakrawala8.Com, Aceh
Ketua LSM. REUNCONG ACEH DR. Zainal Abidin Badar, S.H.,M.Hum.,CPM. yg sering disapa Jimbrown, yang didampingi, Ketua II, Prof. DR. Saifuddin, MA. Ketua III, Prof. DR. Jamaluddin, S.H.,M.Hum. Ketua IV.
, DR. Sulaiman, S.H.,M.Hum. Sekretaris Prof. DR. Yulia, S.H.,M.H. Sekretaris III, DR. Zul Akli, S.H.,M.H. DR. IR. Halim.M.Si. Mauludi, S.Sos.,M.Si. Authar,SP.,M.Si. Johari,S.H.,M.H. Umar, S.H.,M.H. Muhibuddin, S.H.,M.Hum. Fatahillah, S.H.,M.Hum. Albert, S.H.,M.Si. Jufri, S.T.,M.T. Winda Safrianti, S.E.Ak. Miflahayati, S.Sos. Putra, Martunis, Edi, Yudi Suhendra, S.E. Radit, Edi, Zal, Zulkifli , Hendra, Iskandar, Amar, S.H.,M.H.
Keputusan pemerintah pusat yang tidak menetapkan banjir dan longsor di Aceh dan Sumatera Utara sebagai Bencana Nasional, itu merupakan sebuah Kealpaan Negara terhadap Rakyatnya yang mengalami Musibah Dahsyat.
Sehingga Peristiwa Banjir dan Longsor ini menimbulkan tanda tanya Besar sampai sejauh apakah penderitaan Rakyat harus bersabar sebelum Negara mengakui bahwa skala Bencananya telah melampaui kemampuan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Sumatera Utara. Ribuan Kilometer jalan Nasional, Propinsi, Kabupaten, Kota dan Kecamatan Longsor dan Rusak, Perkantoran, Sekolah, Tempat Ibadah, Rumah dan Kendaraan Roda empat serta Roda dua, Ternak dan Hasil Perikanan, Hasil Pertanian tenggelam.
Ketika ribuan Rakyat mengungsi, korban berjatuhan, yang meninggal pun meningkat, akses Jembatan Putus, akses jalan longsor dan komunikasi terputus, serta layanan publik,Listrik Padam sebagian besar, PDAM lumpuh di berbagai titik, publik wajar merasa bahwa pemerintah kurang tanggap terhadap Krisis yang terjadi diAceh dan Sumatera Utara.
Banyak daerah terdampak berada jauh dari Pusat Pemerintahan, akses logistik terhambat, dan kapasitas Daerah sangat terbatas.
Dalam situasi ini ujar Zainal, Status Bencana Nasional ini sangat dibutuhkan untuk menentukan kecepatan dan besarnya mobilisasi bantuan, termasuk dukungan Lintas Kementerian, percepatan pendanaan, dan sorotan Nasional yang memastikan tak ada daerah yang tertinggal.
Kritik juga muncul karena Pemerintah seolah abai dalam memaknai “Bencana Nasional” terlalu sempit,seakan hanya boleh digunakan untuk peristiwa Ekstrem seperti Tsunami 2004 atau pandemi.
Padahal, Undang-Undang Nomor 24/2007 memberi ruang: jika cakupan terdampak luas, korban banyak dan pelayanan Publik terganggu, status Nasional layak ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Sensitivitas Negara terhadap penderitaan rakyatnya minim sekali Ketus Jimbrown.
Pemerintah harus memperbaiki mekanisme Penetapan Status Bencana dengan kriteria yang lebih Adaptif terhadap Krisis Iklim.
Banjir dan longsor yang kini hampir rutin setiap tahun bukan fenomena biasa,ia buah dari Perubahan Iklim, Kerusakan Hulu, Tata Ruang yang kacau, dan Mitigasi yang lemah.
Pemerintah pusat perlu memastikan bahwa Deklarasi Bencana Nasional tidak menjadi Keputusan Politis.
Di tengah meningkatnya ancaman Hidrometeorologi, Publik menunggu satu hal: Negara yang hadir sepenuh skala Bencana, bukan sekadar hadir dalam pernyataan Resmi. (Red)